Pendahuluan
Schistosomiasis adalah penyakit hewan menular yang menyerang manusia. Penyakit yang dikenal dengan demam keong ini merupakan salah satu penyakit tropis yang terabaikan. Schistosomiasis disebabkan oleh parasit cacing pipih trematode dari genus Schistosoma. Bentuknya berupa larva parasit yang dibawa siput air tawar, larva tersebut menembus kulit orang di dalam air. Parasit cacing ini muncul dari siput (keong) untuk mencemari air tawar, dan kemudian menginfeksi manusia ataupun hewan mamalia yang kulitnya bersentuhan dengan air. Schistosomiasis adalah penyakit zoonotik dan merupakan masalah kesehatan masyarakat. Infeksi shistosoma dapat menimbulkan gejala-gejala yang bersifat umum seperti gejala keracunan, disentri , penurunan berat badan , penurunan nafsu makan, kekurusan dan lambatnya pertumbuhan pada anak-anak. Sedang pada penderita yang sudah kronis dapat menimbulkan pembengkakan hati yang umumnya berakhir dengan kematian.
Penyebaran Penyakit
Program pengendalian dilanjutkan dengan 2 program pengendalian yang lebih intensif dengan melibatkan berbagai institusi dimulai pada tahun 1982. Program ini mampu menekan tingkat infeksi sampai 2,2 % dan 3,5 % pada tahun 1994 masing-masing untuk daerah Lembah Napu dan lembah Lindu. Tingkat infeksi sebelum program penegendalian adalah 15,8 % dan 35,8 % untuk lembah Lindu dan Napu. Tingkat infeksi menurun kembali dua tahun kemudian yaitu 1,4 % untuk Lembah Napu sedangkan untuk lembah lindu adalah 1,1 %. Walaupun secara umum program pengendalian berhasil menekan angka infeksi, akan tetapi dengan adanya orang yang masih terinfeksi menunjukkan reinfeksi masih terus berlangsung dan infeksi schistosoma masih mengancam penduduk pada dua wilayah tersebut. Reinfeksi masih berlangsung dimungkinkan karena masih adanya sumber infeksi yang berasal dari hewan reservoar dan kebiasan manusia yang memungkinkan kontak dengan larva infektif sehingga infeksi berlangsung secara terus menerus. Selama ini program pengendalian yang telah dilakukan belum melibatkan hewan yang dapat bertindak sebagai reservoar yang akan menjadi sumber penularan bagi manusia. Schistosomiasis japonicum selain menginfeksi manusia juga dapat menginfeksi hewan mamalia. Schistosomiasis dapat ditularkan dari manusia ke hewan mamalia dan dari hewan mamalia ke manusia melalui perantaraan siput Oncomelania hupensis lindoensis. Menurut data World Health Organization (WHO), sebanyak 206,5 juta orang memerlukan pencegahan pada 2016. Kini Indonesia menjadi satu-satunya negara ASEAN yang terdeteksi penyakit ini, tepatnya di Sulawesi Tengah di Lindu pada 1937, Napu pada 1974 dan Bada pada 2008. Data tahun 2017 menunjukkan bahwa angka kejadian schistosomiasis pada manusia di tiga dataran tinggi, rata-rata berada pada kisaran 0.65 –0.97%. Namun pada keong perantara masih cukup tinggi yaitu 1.22– 10.53%, terlebih lagi angka kejadian schistosomiasis pada hewan ternak sangat tinggi dikisaran 5.56 – 40%. Data-data ini menunjukkan bahwa yang jauh lebih banyak terinfeksi itu adalah hewan ternak dan keong perantara.
Insiden Dan Faktor Resiko
Schistosomiasis japonicum dianggap suatu penyakit kemiskinan yang mengarah ke gangguan kesehatan kronis. Infeksi terjadi ketika manusia kontak dengan air tawar yang mengandung serkaria dari cacing parasit darah. Infeksi Schistosomiasis sering terjadi di daerah tropis maupun di daerah sub-tropis, masih banyak ditemukan di masyarakat yang tidak memiliki air minum dan sanitasi yang tidak memadai. Petani merupakan pekerja yang berisiko untuk terinfeksi Schistosomiasis japonicum karena petani pada saat melakukan pekerjaan di sawah berada dalam lingkungan yang berair dan berlumpur dengan keadaan kaki yang telanjang tanpa menggunakan pelindung, keadaan tersebut mempermudah terjadinya kontak langsung antara kulit kaki dengan tanah atau air yang mengandung serkaria parasit Schistosomiasis japonicum, kebiasaan yang dilakukan petani di daerah Taman Nasional Lore-Lindu pada saat selesai bekerja mereka mencuci tangan dan kaki di parit yang ada disekitar persawahan, air tersebut berasal dari fokus keong Oncomelania hupensisi linduensis. di air sungai berhubungan dengan kejadian Schistosomiasis japonicum. Artinya masyarakat yang memiliki kebiasaan mandi dan mencuci di air sungai atau di air danau memiliki risiko sebesar 2,7 kali lebih besar untuk terjadinya Schistosomiasis japonicum di bandingkan dengan masyarakat yang memiliki kebiasaan mandi atau mencuci selain di danau atau di sungai, tidak berisiko di kamar mandi menggunakan air dari perpipaan. Semakin banyak orang yang mandi dan mencuci di air sungai atau air danau semakin besar peluang terjadinya infeksi Schistosomiasis japonicum, karena terjadi kontak langsung dengan air sungai, yang terkontaminasi dengan serkaria parasit Schistosomiasis japonicum melalui aktifitas membersihkan diri, mandi atau mencuci di sungai atau di danau
Strategi Pengendalian
Pengendalian schistosomiasis di Sulawesi Tengah diawali tahun 1974 melalui pengobatan penderita, pemberantasan siput sebagai inang antara dengan molusida dan melalui agroengineering. Upaya eradikasi schistosomiasis harus focus pada upaya pengendalian agar hewan ternak dan keong perantara ini tidak terinfeksi, sehingga memutus rantai penularan schistosomiasis pada manusia. Dengan sudah banyaknya yang terinfeksi dan bahkan sudah lama penyakit ini menginfeksi masyarakat yang ada di Lembah Lindu dan Napu, mari kita bersama-bersama menuntaskan penyakit schistosomiasis, dengan memusnahkan hewan yang mengakibatkan penyakit ini yaitu keong. Dengan adanya bantuan pemerintah dan partisipasi dari masyarakat sekitar dapat menghilangkan penyakit schistosomiasis.
Penutup
Dengan mengurangi banyaknya penderita penyakit ini maka diharapkan bahwa masyarakat yang bekerja sebagai petani, pada saat melakukan kegiatan di luar rumah, bekerja di persawahan dan melewati daerah fokus disarankan untuk menggunakan alat pelindung diri seperti sandal atau sepatu jenggel boot agar kaki terhindar dari air yang terkontaminasi oleh serkaria. Masyarakat yang memiliki kebiasaan mandi/mencuci di air sungai atau air danau disarankan menggunakan sabun anti bakteri, hal ini dapat memperkecil risiko masuknya serkaria dalam pori-pori kulit, kemudian saat mandi di air sungai dan air danau di sarankan tidak melakukan kegiatan lain seperti: menyelam, berenang dan memancing ikan. Masyarakat yang memiliki lahan pertanian yang tidak dikelolah dalam jangka waktu yang lama, disarankan lahan perswahan yang dimiliki segera dikelolah setiap tahun minimal 2 kali dalam setahun atau lahan tersebut dikeringkan, disarankan jika lahan tersebut menjadi tempat melihara hewan ternak, saat berkunjung menggunakan alas kaki atau sepatu jenggel boot saat beraktifitas di lahan tersebut.
Finolia Silvia M Marola
Mahasiswa Fakultas Bioteknologi, Universitas Kristen Duta Wacana