Apakah keputusan pembatalan penggantian pejabat otomatis menghapus pelanggaran terhadap Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada?
Atau sebaliknya, tetap saja tidak menghapus kesalahan atau pelanggaran yang pernah terjadi?
Guru Besar di Bidang Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum Universitas Tadulako (Untad) Palu Prof. Dr. Aminuddin Kasim, SH, MH, memaparkan tulisan menarik soal ini.
Prof Aminuddin Kasim, menjelaskan larangan dalam Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada tidak berlaku bagi daerah-daerah yang tidak menyelenggarakan Pilkada Serentak.
Menurut Aminuddin Kasim, berbeda dengan daerah yang tidak menyelenggarakan Pilkada Serentak, pada daerah yang melaksanakan, kepala daerah terlarang melakukan penggantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan.
Terkecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.
Kata dia, di daerah penyelenggara pilkada, terikat dengan asas dan norma UU Pilkada, terikat pula asas bebas dan adil (free and fair election), serta terikat dengan larangan untuk melakukan kecurangan (Ketentuan Pasal 71 ayat 2).
Hal itu tidak hanya ditujukan kepada bupati petahana, tetapi juga kepada bupati yang bukan petahana.
Bagi bupati yang melanggar Pasal 71 ayat 2 diancam dengan pidana penjara dan/atau denda (Pasal 190 UU Pilkada).
Lalu, khusus bagi bupati petahana, selain diancam dengan Pasal 190 UU Pilkada juga terancam sanksi pembatalan.
Seperti tidak ditetapkan sebagai calon (TMS) atau dibatalkan sebagai calon.
Namun demikian, lanjut Aminuddin, larangan dalam Pasal 71 ayat 2 UU Pilkada tetap dilanggar oleh Bupati Petahana di beberapa daerah.
Pada Pilkada Serentak 2017, ada dua kasus yang menarik dijadikan referensi terkait dengan pelanggaran Pasal 71.
Yaitu di Kota Kupang dan di Kabupaten Boalemo.
SK Penggantian pejabat yang dilakukan oleh Bupati Petahana di daerah itu sempat dibatalkan sebelum penetapan paslon.
Pembatalan dilakukan setelah diketahui ada sanksi pembatalan sebagai calon.
Dikatakan Aminuddin, jika mendalami asas-asas Hukum Administrasi, maka ditemukan satu asas yang mengatakan bahwa semua keputusan (beschiking) dianggap sah (presumption tustae causa).
Keabsahan keputusan itu dinyatakan hilang jika ada keputusan baru yang membatalkan atau mencabut keputusan terdahulu.
Dalam konteks ini, berlaku asas “contrarius actus” (Simak: Pasal 66 ayat 3 UU Nomor 30 Tahun 2014).
Asas itu juga berlaku jika keputusan akan dinyatakan berakhir (Pasal 68 ayat 1 huruf c UU Nomor 30 Tahun 2014).
Lalu, suatu keputusan (lama) dapat dibatalkan (dengan keputusan yang baru) apabila mengandung cacat yuridis berupa, cacat wewenang, cacat prosedur, dan/atau cacat substansi (Pasal 66 ayat 1 UU Nomor 30 Tahun 2014).
Pada daerah yang menyelenggarakan pilkada, dan rez m Hukum pilkada berlaku di situ.
Para bupati terlarang membuat keputusan (beschikking) terkait pergantian pejabat.
Ketika keputusan penggantian atau pengangkatan pejabat sudah ditetapkan, maka seketika itu sudah terjadi pelanggaran Pasal 71 ayat 2.
Jadi, pelanggaran sudah terjadi dan berakibat hukum.
Pada keputusan penggantian atau pengangkatan pejabat terdapat Diktum yang menyatakan keputusan ini mulai berlaku pada saat ditetapkan, yakni menunjuk tanggal dan tahun yang tertera pada bagian akhir keputusan itu.
Lalu, ketika pembatalan ditetapkan (keputusan baru) atau pembatalan terhadap keputusan lama, maka seketika itu terjadi pelanggaran yang kedua kali.
Artinya, karena ada dua keputusan yang diterbitkan (keputusan lama dan keputusan baru), maka tercatat dua kali perbuatan pelanggaran.
Sehingga embatalan terhadap keputusan penggantian (pengangkatan) tidak dilihat dari pengembalian pejabat (person) ke posisi semula, tetapi dilihat dari adanya dua keputusan yang terbit.
Di Kupang MS, di Boalemo TMS.
Aminuddin mengambil contoh kasus di Kupang dan Boalemo.
Risalah DKPP Nomor 125-126-132-145/DKPP-PKE-V/2016 terungkap fakta bahwa pada Pilkada Serentak 2017, Walikota Kupang, Jonas Saelan (Petahana) terbukti melakukan pelanggaran Pasal 71 ayat 2.
Itu karena melakukan penggantian pejabat tanpa persetujuan Menteri (1 Juli 2016).
Lalu, karena Bawaslu RI mengeluarkan Surat Edaran Nomor 0649/K.Bawaslu/PM.06.00/X/2016 (20 Oktober 2016), sehingga menjadi rujukan bagi Walikota Petahana dalam menetapkan keputusan pembatalan terhadap keputusan sebelumnya (21 Oktober 2016).
Atas dasar SE Bawaslu RI itu, Bawaslu NTT dan Bawaslu Kota Kupang, serta KPU Kota Kupang menilai bahwa Bupati Petahana tidak lagi melanggar Pasal 71 ayat 2.
Akhirnya, KPU Kota Kupang menetapkan Bupati Petahana Memenuhi Syarat (MS) sebagai calon (Keputusan KPU Kota Kupang Nomor 44/Kpts/KPUKota.018.434078/2016).
Namun demikian, Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, SH, ahli Hukum Administrasi terkenal di Indonesia, bahkan dikenal luas oleh pakar Hukum Administrasi di Belanda, dihadirkan sebagai ahli dalam sidang DKPP.
Itu terkait dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota Bawaslu RI pertode 2012-2017, anggota Bawaslu NTT, anggota Bawaslu Kota Kupang, dan anggota KPU Kota Kupang.
Prof Philipus Hadjon, berpendapat pembatalan keputusan mutasi yang dilakukan oleh Walikota Kupang pada 21 Oktober 2016 termasuk perbuatan penggantian pejabat atau mutasi.
Selain itu, Prof. Phillpus mengatakan SE Bawaslu RI Nomor: 0649/K.Bawaslu/PM 06 00/X/2016 tanggal 20 Oktober 2016 bukan merupakan peraturan perundang-undangan, dan tidak memiliki kekuatan hukum (Simak: Risalah Putusan DKPP No. 125-126-132-145/DKPP-PKE-V/2016).
Lanjut Aminuddin, hal serupa juga terjadi di Kabupaten Boalemo pada Pilkada Serentak 2017.
Dalam risalah putusan MA No No.570 K /TUN/PILKADA/2016 (4 Januari 2017) terkait dengan kasus penggantian pejabat oleh Bupati Petahana Kabupaten Boalemo, H. Rum Pagau, juga tanpa persetujuan tertulis dari menteri.
Pada pertimbangan hukum putusan MA di atas, Majelis Hakim MA menyatakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 71 ayat 2 yang sanksinya telah ditentukan dalam Pasal 71 ayat 5 UU Pilkada.
Begitu tindakan dilakukan maka konsekuensinya lahir dan berakibat hukum.
Walaupun dicabut kembali, akibat hukumnya telah ada dalam rentang waktu tertentu.
Karena itu pelanggaran sudah terjadi dan tidak hapus karena dicabut.
Lebih dari itu, Majelis Hakim MA juga menyatakan Putusan Hakim Judex Factie PT-TUN Makassar tidak dapat dipertahankan dan harus dibatalkan.
Dari putusan MA tersebut, terbaca kesan bahw MA mengabaikan SE Bawaslu RI 0649/K.Bawaslu/PM.06 00/X/2016.
Mengingat karena Bupati Petahana (Rum Pagau) terbukti melanggar Pasal 71 ayat 2 UU Pilkada, maka Majelis Hakim MA membatalkan Keputusaan KPU Kabupaten Boalemo Nomor 24/Kpts/KPU Kab. Boalemo/Pilbup/027.436540/X/2016 terkait Penetapan Paslon Pilkada 2017 (Putusan MA No. 570 K /TUN/PILKADA/2016).
Akbat pembatalan itu, Paslon Petahana (Rum Pagau – Lahmudin Hambali) gagal ikut Pilkada Serentak 2017.
Pada hal Paslon tersebut diusung oleh gabungan sembilan parpol (Putusan MA Nomor 02 P/PAP/2017 terkait Penolakan Sengketa yang diajukan oleh Rum Pagau – Lahmudin Hambali).
Selain melanggar hukum, juga melanggar etika pejabat publik
Pasal 71 ayat 2 UU Pilkada dengan jelas terbaca bahwa larangan penggantian pejabat dikecualikan jika mendapatkan persetujuan tertulis dari mendagri.
Ironisnya, masih ada sebagian bupati yang tidak mengindahkan hal itu.
Melangkahi wewenang menteri ketika menetapkan keputusan penggantian atau pengangkatan pejabat.
Pada hal ini, lanjut Aminuddin, mendagri telah menyosialisasikan atau menyampaikan Surat Edaran Nomor: 273/487/SJ kepada para Bupati se-Indonesia.
Khususnya kepada kepala daerah yang daerahnya menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020.
SE Mendagri itu antara lain menegaskan penggantian pejabat dilarang terkecuali mendapatkan persetujuan tertulis dari mendagri.
Penggantian pejabat yang dilakukan kepala daerah tanpa persetujuan tertulis dari .endagri, sesungguhnya tidak hanya melanggar hukum (Pasal 71 ayat 2), tetapi juga melanggar etika pejabat publik.
Penggantian pejabat yang dilakukan kepala daerah tanpa persetujuan tertulis nendagri, dapat dikatakan melecehkan peran mendagri.
Pejabat yang melantik bupati terpilih adalah mendagri.
Sayangnya, kata Aminuddin, belum pernah terdengar suara nendagri yang menegur keras bupati karena melangkahi kewenangan mendagri dalam hal penggantian pejabat.
Lalu, bagaimana keputusan KPU di berbagai daerah yang menghadapi kasus pelanggaran Pasal 71 ayat 2 pada Pilkada Serentak 2024?
Kita tunggu hingga penatapan calon.