Palu, Satusulteng.com – Tidak henti-hentinya Negeri ini dilanda bencana. Belum selesai penaganan gempa bumi, likuifaksi dan tsunami yang terjadi di Palu tanggal 28 september 2018, kemarin Kamis 06 Desember 2018 angin puting beliung menyapu wilayah Batutulis Bogor Selatan. Puting beliung merupakan salah satu fenomena cuaca ekstrim yang sering terjadi di Indonesia. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga bulan Desember 2018 menunjukkan bahwa kejadian puting beliung menduduki tempat pertama dalam banyaknya kejadian bencana yang terjadi di Indonesia, yaitu sebanyak 449 kejadian.
Puting beliung merupakan sebuah kolom udara yang berputar di permukaan bumi sebagai produk dari jenis awan cumulonimbus dan bersifat merusak. Secara visual, awan cumulunimbus berbentuk awan hitam yang menggumpal yang tumbuk secara vertikal (konvektif) dan biasanya menghasilkan angin kencang (downdraft) serta petir.
Pertumbuhan Awan
Awan cumulonimbus ini akan tumbuh menjadi lebih besar dan tinggi akibat adanya pemanasan matahari yang intensif di suatu daerah. Pemanasan intensif ini mengakibatkan banyaknya penguapan yang terjadi yang menambah banyaknya awan yang tumbuh. Hal ini diperparah apabila terdapat tekanan rendah di suatu wilayah yang memicu pengumpulan massa udara di daerah tersebut sehingga pertumbuhan awan konvektif di daerah tersebut sangat cepat.
Pertumbuhan awan cumulonimbus meliputi tiga fase, yaitu fase pembentukan, fase matang, dan fase punah. Pada fase pembentukan, inti-inti kondensasi mengikat massa udara dan membentuk partikel awan. Partikel awan ini lama-kelamaan akan berkumpul dan menjadi lebih besar dan terus tumbuh membumbung tinggi. Fase matang terjadi ketika awan cumulonimbus sudah mencapai lapisan tropopause pada ketinggian kurang lebih 15 km dan kemudian terbentuk seperti landasan dipuncaknya. Pada fase inilah biasanya terjadi proses pembentukan angin puting beliung. Setelah itu, apabila energi pembentukan awan sdah tidak ada maka massa udara awan akan turun menjadi hujan. Pada saat ini fase punah terjadi dan paling lama terjadi sekitar 1 jam.
Proses pembentukan angin puting beliung pada fase matang di awan terdapat arus udara naik (updraft) dan arus udara turun (downdraft) yang sangat besar yang antara satu dan lainnya saling bergesekan dan terjadi arus geseran memuntir yang dalam kondisi tertentu angin puntiran yang berbentuk tabung ini dapat menembus sampai ke bumi dalam bentuk mirip belalai gajah (funnel cloud) dan apabila mencapai permukaan bumi akan menjadi puting beliung.
Mengenali Ciri-Ciri Puting Beliung
Kejadian puting beliung hingga saat ini belum bisa diprediksi secara akurat walaupun menggunakan instrumen prakiraan cuaca modern, yaitu citra satelit dan radar cuaca. Oleh karena itu, dihimbau kepada masyarakat untuk memahami ciri-ciri kejadian angin puting beliung dari melihat perkembangan awan konvektif yang ada di sekitar kita.
Karakteristik akan terjadinya angin puting beliung, yaitu sehari sebelumnya udara terasa panas dan pengap. Pada pagi hari sekitar pukul 10.00 terjadi pertumbuhan awan vertikal yang gelap dan cepat. Terbentuknya awan cumulonimbus yang besar, hitam dan gelap yang kemudian ranting dan dedaunan bergoyang kencang yang semakin lama semakin kencang dan terjadi angin puting beliung.
Hal yang harus diperhatikan dalam kejadian angin puting beliung tidak harus terjadi pada musim peralihan (pancaroba). Walaupun kebanyakan terjadi pada musim peralihan pada pagi, siang dan sore hari serta tidak semua awan cumulonimbus menghasilkan angin puting beliung. Durasi kejadiannya relatif singkat biasanya kurang dari lima menit. Namun jika berskala lebih besar bisa berlangsung lebih lama dan kerusakan yang ditimbulkan akan lebih besar juga. Lintasan kejadian puting beliung bergantung pada pergerakan awan cumulonimbus yang menghasilkannya. Angin puting beliung dapat terjadi kapanpun dan di manapun. Oleh karena itu, masyarakat diharapkan selalu waspada akan potensi kejadian puting beliung. Apalagi di Indonesia merupakan daerah yang cuacanya banyak dipengaruhi oleh banyak faktor yang berakibat Indonesia menjadi daerah rawan bencana yang disebabkan oleh faktor pertumbuhan awan vertikal. Juga karena daerahnya di ekuator di mana pertumbuhan awannya bisa sangat besar dan luas.
Oleh : Wenas Ganda Kurnia
Prakirawan Stasiun Pemantau Atmosfer Global Lore Lindu – Palu
Email: wenasbmkg@gmail.com