Penguatan institusi lokal dalam perspektif second securiti atau keamanan sipil cadangan menjadi salah satu alternatif dari apa yang disebut dengan transisional justice. Sebuah konsep hukum alternatif berbasis pada kearifan penyelesaian perkara atau sengketa sosial. Dalam banyak kasus, seringkali penyelesaian yang dilakukan lewat aparatus hukum negara meninggalkan bercak-bercak ketidakpuasan dari salah satu pihak. Masalahnya, hal itu menjadi semacam bola salju yang bergerak liar digiring oleh beragam kepentingan.
Saat ini, ikatan sosial yang terikat pada ruang dan waktu masyarakat tempatan tertentu mengalami distorsi oleh beragam tendensi. Tidak hanya pesatnya saluran informasi yang membanjiri kanal pribadi pada media sosial, tetapi juga ragam budaya populer yang dipasok sebagai tradisi yang menubuh dan dimasyarakatkan. Sehingga batas-batas toleransi identitas dikaburkan oleh interaksi sosial yang beragam rupa.
Apa yang dimaksud dengan institusi lokal? Adalah suatu narasi bersama yang stabil antara kelompok masyarakat tertentu, menilai dan mempersepsikan masalah dengan jalan keluar lewat dialog ikatan sosial tertentu. Disinilah, dialog antara budaya, nilai dan falsafah perlu dikonstruksi sebagai ajakan umum untuk partisipasi penguatan institusi lokal. Negara menjadi katalisator dan aparatusnya berperan sebagai fasilitator para pihak untuk mengurai benang kusut masalah-masalah yang muncul.
Pembenahan hukum memiliki kata kunci pada “penemuan kembali” nilai dan falsafah yang hidup dari masyarakat Indonesia sebagaimana makna pancasila. Membangun kembali nilai dan falsafah tersebut berkenaan dengan gerakan pemulihan (restorasi) yang ditawarkan dan dipromosikan sebagai alternatif memahami penyelesaian segi keamanan untuk mencapai stabilitas sosial yang dibayangkan.
Sekat-sekat dan pengelompokan sosial berdasarkan kategori identitas tertentu, memang sesuatu yang empirik. Tetapi ia bisa mencair dalam hubungan baru yang lebih harmonis. Manakalah, ada ruang yang diberikan untuk saling bertutur kecemasan dan mencari rasa keadilan yang diharapkan.
Diperlukan inovasi dalam menangani beragam keresahan sosial dan kecemasan-kecemasan terkini. Terutama sekali, berkaitan dengan krisis-krisis identitas sosial dan hubungan bermasyarakat. Idealnya, hukum lahir dari kesepakatan masyarakat. Sehingga secara sosiologis, aturan-aturan baru dalam penyelesaian ketegangan sosial, lahir dari kesepakatan-kesepatan masyarakat.
Setiap peristiwa hukum terutama mengenai perkara perdata dan pidana perlu diapresiasi oleh setiap struktur pemerintah pada semua level dalam konteks ajakan keterlibatan institusi lokal. Oleh karena itu, sosialisasi yang melibatkan negara secara langsung harus memperkuat partisipasi institusi lokal dalam penyelesaian perkara pada tingkat lokal. Sehingga hukum tidak menyeret masyarakat ke dalam tahapan penyelesaian hukum berbasis pada mekanisme baku dan normatif itu. Selain menelan banyak biaya, juga seringkali tidak memberikan rasa keadilan pada kedua belah pihak.
Sehingga, politik anggaran dalam konteks pembenahan hukum dan penyelesaian ketegangan sosial harus menaruh penguatan institusi lokal sebagai mitra membangun masyarakat baru. Dengan demikian, proporsi antara watak negara yang koersif bergerak lebih maju ke arah demokratisasi dan partisipatoris. Dimana, masyarakat terlibat tidak hanya sebagai objek sosialisasi hukum tetapi menjadi subjek yang mendorong pembaruan pelaksanaan konsepsi keadilan pancasila.
Dengan demikian, perlu mendorong percepatan proses penegakan hukum baru yang lebih nasionalis, lahir dari rahim ibu pertiwi dan perlahan meninggalkan teori-teori dan konsepsi hukum warisan Kolonial Belanda. Baik itu kode sipil maupun adopsi dari Eropa yang sudah tidak relevan lagi dengan kemajuan masyarakat.
Pada akhirnya, antara narasi yang berkembang sebagai persepsi publik dapat bertemu langgam dalam situasi corak sosial hukum baru. Walaupun mungkin akan menelan waktu dan biaya, tetapi paling tidak, pembaruan hukum dapat berjalan dalam nuansa nilai dan falsafah kita sebagai bangsa dan negara yang menganut pancasila.
Ahmad M. Ali
(Penulis Adalah Anggota Komisi III DPR RI, Dapil Sulteng)