Palu, Satusulteng.com – Melihat kejadian bencana alam yang kerap terjadi di Indonesia akhir-akhir ini dimulai dari gempa dan tsunami serta diikuti letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, dan sebagainya sepertinya bagaikan mengambarkan pada dunia bahwa Indonesia adalah negara yang sangat rentan terhadap bencana. Indonesia sangat rentan terhadap bencana alam, sehingga negara ini dikenal sebagai ‘laboratorium bencana’. Mengapa? Karena Indonesia terletak dalam apa yang disebut Ring of Fire atau cincin api; di bagian aktif dari kerak bumi, di mana lempeng pasifik bertemu banyak piring sekitarnya. Mereka, lempeng tektonik, bertabrakan dan menyebabkan pergerakan kawasan yang dinamis di Indonesia. Analisis risiko bencana menunjukkan bahwa Indonesia adalah salah satu di antara daerah zona rawan bencana alam.
Baru-baru ini gempa bumi, disusul dengan tsunami dan liquifaksi yang terjadi di Palu dan Donggala pada Jumat sore tanggal 28 September 2018 lalu merupakan salah satu kisah pilu yang dialami bangsa Indonesia. Ribuan orang meninggal, ratusan terluka, atau bahkan hilang tidak diketahui bagaimana nasibnya. Belum lagi kerusakan fisik yang ditimbulkan betul-betul luar biasa. Padahal saat itu, penanganan darurat bencana gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat akibat gempa yang terjadi pada 29 Juli 2018 lalu, masih berlangsung. Rentetan bencana alam yang lain datang silih berganti, seperti sebelumnya letusan gunung Agung di Bali, atau gunung Sinabung di Sumatera Utara yang juga meletus berkali-kali dalam kurun waktu yang cukup lama. Masih belum hilang juga dari ingatan kita gempa bumi dan tsunami yang meluluhlantakkan Aceh, ataupun gempa Sumatra Barat, Jawa Barat, dan Yogyakarta.
Menurut Undang-Undang nomor 24 tahun 2007, mitigasi merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melaui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi bencana. Mitigasi bencana alam merupakan upaya memperkecil jumlah korban dan kerugian yang dapat terjadi. Sedangkan adaptasi bencana alam merupakan penyesuaian sistem alam dan manusia terhadap stimulasi bencana alam nyata atau yang diharapkan tidak ada dampaknya yang menyebabkan kerugian. Dengan demikian resiko bencana dapat dikurangi melalui berbagai upaya mitigasi bencana. Salah satu bentuk mitigasi bencana yang cukup efektif, melalui sosialisasi dan simulasi secara berkala. Sosialisasi dan simulasi dapat dilakukan di mana saja, baik di perkantoran atau instansi, pasar, masyarakat, atau bahkan di sekolah.
Mitigasi bencana di sekolah? Ya, kenapa tidak. Melalui sosialisasi, siswa sebagai generasi muda terdidik akan memiliki pemahaman yang lebih akan potensi bencana yang ada di wilayahnya. Tentu saja masing-masing daerah memiliki potensi bencana yang berbeda-beda, sehingga langkah mitigasinya juga berbeda. Dari sinilah siswa dapat menyadari potensi bencana apa yang mengancam wilayah tempat tinggalnya. Simulasi secara berkala disemua tingkatan sekolah juga sangat diperlukan. Selain untuk melatih kesiagaan, mengecek peralatan, juga untuk lebih memahami jalur-jalur evakuasi. Semakin sering simulasi, maka siswa semakin paham dan dan semakin siap menghadapi bencana. Dengan demikian resiko bencana seperti jatuhnya korban jiwa juga semakin kecil. Akan lebih bagus lagi kalau materi mitigasi bencana masuk dalam kurikulum sekolah. Dengan demikian siswa akan lebih memahami langkah-langkah untuk mitigasi semua jenis bencana, bukan hanya jenis bencana yang berpotensi terjadi di wilayahnya saja. Siswa menjadi lebih siap apabila harus tinggal di daerah lain yang memiliki resiko bencana yang berbeda. Diharapkan siswa juga dapat mensosialisasikan kepada keluarga ataupun masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Maka secara perlahan akan terbentuk masyarakat Indonesia yang sadar bencana. Mari kita menjadi masyarakat yang sadar bencana! kalau bukan kita siapa lagi?.
Penulis : Wenas Ganda Kurnia dan Sofian Widiyanto
Pengamat Meteorologi Klimatologi dan Geofisika