Sigi, Satusulteng.com – Beberapa saat yang lalu, saya berkunjung ke Desa Tuva, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi. Ada satu cerita yang menarik sekaligus membuat kita sedih.
Saya dan teman-teman yang berkunjung ke tempat itu,bertanya dalam bahasa Da’a, ” Ninjani Komi notulisi” ? (Kalian tahu menulis ).
Seorang anak perempuan, Delina ia menjawab. ” Da’a Njani Kami, Nuapa Motulisi”. ( Kami tidak tahu, Apa itu Menulis) dengan nada bertanya.
Sehingga hal itu membuat saya dengan teman-teman yang lain berpikir tentang metode pembelajaran seperti apa yang harus diajarkan kepada anak-anak tersebut.
Bukan persoalan Menulis sebagai sebuah tindakan, tetapi kosakata Menulis mereka belum ketahui. Artinya pembelajaran harus dimulai dari awal.
Kosakata (perbendaharaan) dalam bahasa indonesia sangat minim mereka pahami, bahkan dalam bahasa indonesia yang tidak baku agak sulit bagi mereka.
Delina dan teman-temannya adalah anak-anak Topoda’a yang berpindah ke Desa Tuva pasca Gempa 28 September 2018 Silam. Kejadian tersebut mengakibatkan rumah (Gubuk) mereka di Pegunungan (Bulu Kondo) Rusak karena tanahnya longsor.
Itulah sebabnya mereka tidak sekolah karena jauh dari Desa tuva dan Desa Omu, di Kabupaten Sigi tempat orang tua Delina dan teman-temannya bermukim.
Selanjutnya yang menarik dari cerita ini adalah kemauan mereka untuk belajar ditandai dengan ramahnya mereka terhadap kami yang datang.
Setiap Pembelajaran yang kami sampaikan tidak selayaknya pendidikan formal tetapi justru mereka lebih terimah dengan hal itu.
Delina juga mengatakan kemauannya untuk belajar membaca dan menulis. Hanya saja mereka diam ditanya soal kenapa tidak di sekolah formal. Akhirnya pertanyaan itu berhenti dan mengalihkan pembicaraan.
Sedih rasanya melihat kondisi ini. Bahkan menurut pengakuan Delina bahwa ia dan teman-temannya sesama Topoda’a tidak memiliki teman diluar dari komunitasnya.
Pesan dari saya mari tebar kebaikan!
Setiap Tempat adalah Kelas dan Semua orang adalah Guru.
Arman Seli
Penulis Adalah Pegiat Masyarakat Adat