Palu, Satusulteng.com – Wali Kota Palu Hidayat menegaskan bahwa penutupan operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kelurahan Mpanau, Kecamatan Tawaili, Kota Palu, bukanlah solusi atas masalah yang terjadi antara pengelolaa PLTU dan warga sekitar.
Hal itu disampaikan Wali Kota Hidayat, Selasa, terkait aksi demonstrasi ratusan warga dari lima kelurahan di Kecamatan Palu Utara dan Tawaeli, Senin (22/1) yang menuntut penutupan PLTU Mpanau yang dikelola PT.PJPP karena dinilai merugikan masyarakat dan limbahnya mencemari lingkungan.
Aksi ratusan warga dari Kelurahan Mpanau, Lambara, Baiya, Kayumalue Ngapa dan Kayumaleo Pajeko itu memenuhi jalan raya dekat jembatan Tawaeli menyebabkan arus lalulintas di jalan trans Sulawesi macet total selama delapan jam karena warga memblokade jalan.
Hidayat mengatakan, persoalan yang dituntut warga sudah berlangsung selama puluhan tahun itu sebenarnya kini sudah hampir tuntas.
“Dalam kurun waktu setahun terakhir, hampir semua persoalan sudah tertatasi, di antaranya persoalan air panas yang dikeluarkan pembangkit, begitu pula soal getaran dan bunyi bising yang ditimbulkan sudah berada di bawah ambang batas. Ini adalah hasil penelitian ahli dari Untad beberapa waktu lalu,” katanya.
Demikian halnya dengan persoalan pengangkutan batubara dari laut ke darat yang dikeluhkan masyarakat, kini sudah menggunakan sistem konveyor sehingga debu batubara tidak beterbangan kemana-mana lagi.
Namun, kata Hidayat, dalam upaya pengelola PLTU membangun tempat pengelolaan limbah, ada lagi pihak yang mencoba mengganggu dan menghentikan pekerjaan tersebut pada tanggal 21 Januari 2018.
Hidayat menegaskan bahwa tuntutan warga untuk menghentikan operasional PLTU, tidak bisa dipenuhi karena hal itu bukanlah penyelesaian masalah.
“Itu akan berdampak terhadap pengurangan daya listrik sehingga akan berakibat fatal dan mengganggu jalannya pembangunan di Kota Palu,” tutup Hidayat.
Demo warga pada Senin (22/1) menuntut pengelola Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mpanau meratakan tumpukan limbah B3 ke dalam areal PLTU karena sangat membahayakan warga sekitar.
Mereka meminta agar limbah berupa `fly ash` dan `bottom ash` di bantaran sungai dipindahkan. Kemudian PLTU juga diminta menutup timbunan buangan limbah fly ash dengan plastik geo membran sesuai kesepakatan PLTU dan Pemkot Palu tahun 2016.***